Meninjau Kritis “Kurikulum Merdeka” dalam Kacamata Politik Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Di tengah arus reformasi kebijakan pendidikan, istilah “Merdeka Belajar” telah menjadi jargon dominan di ruang-ruang diskursus dan praktik pendidikan nasional. Namun, pertanyaan krusialnya: apakah semangat tersebut benar-benar mengakar pada nilai-nilai filosofis pendidikan Indonesia, atau hanya adopsi kosmetik dari model pendidikan global yang tengah populer? Untuk menjawabnya, kita perlu menengok kembali warisan pemikiran politik pendidikan Ki Hadjar Dewantara, seorang tokoh pejuang yang menyadari bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari misi kebangsaan dan kemanusiaan.

Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889, latar belakang pemikirannya tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidupnya sebagai bangsawan Jawa yang berpindah haluan menjadi aktivis anti-kolonial dan pendidik rakyat. Ia pernah diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda karena tulisannya yang kritis, seperti “Als Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda), yang memprotes ketidakadilan kolonial terhadap pribumi.

Pengasingannya di Belanda justru memperkaya pemikiran Ki Hadjar Dewantara karena ia mempelajari sistem pendidikan Barat, termasuk pemikiran Montessori, Frbel, dan Theosofi. Namun, ia tidak meniru sepenuhnya sistem pendidikan Barat, melainkan mengembangkannya sesuai dengan konteks budaya dan sosial Indonesia sebagaimana fillosofinya: niteni (memahami), nirokke (meniru), dan nambahi (mengembangkan). Sekembalinya dari pengasingan, Dewantara mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922 yang merupakan proyek politik-kultural untuk membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan intelektual dan budaya. Filosofi Taman Siswa menolak pendidikan eksklusif, semua masyarakat tanpa memandang status sosial, berhak memperoleh pendidikan yang memerdekakan (Dewantara, 1962). Baginya, pendidikan adalah sarana membentuk manusia merdeka: berpikir, berbudaya, dan menentukan nasib sendiri yang membebaskan dari kebodohan, ketertindasan, dan penjajahan dalam segala bentuk. Konsep ini melampaui batas instruksional dan administratif pendidikan modern, dimana pendidik bukanlah instruktur otoriter, tetapi pamong yang mendampingi kemerdekaan anak di dalam menemukan potensi dan identitas karakternya.


Posted

in

by

Tags:

Comments

3 responses to “Meninjau Kritis “Kurikulum Merdeka” dalam Kacamata Politik Pendidikan Ki Hadjar Dewantara”

  1. Rayhan Vodjo Avatar
    Rayhan Vodjo

    test

    1. admin Avatar

      Terima Kasih

  2. Rayhan Vodjo Avatar
    Rayhan Vodjo

    komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *